Selasa, 29 Maret 2011

"The Best Input" atau "The Best Process"

      Pukul 10.00, sinar mentari menyinari ratusan wajah ibu-ibu yang berkeringat kala berdesak-desakan melihat hasil pengumuman penerimaan anaknya di sekolah favorit. Sekolah tersebut hanya menerima 350 siswa, sedangkan pendaftar dan calon siswa yang mengikuti tes penerimaan berjumlah lebih dari 1.000 orang. Dapat dibayangkan betapa ketatnya seleksi masuk ke sekolah tersebut.
     Tak lama kemudian, seorang ibu dengan wajah kusut dan sedih keluar dari kerumunan, lalu berteriak memanggil anaknya. Si anak dengan harap-harap cemas menghampiri ibunya. Ia berharap ibunya menyampaikan kabar gembira tentang pengumuman hasil tes tersebut. Namun, kata sang ibu, "Nak, Nak, ... percuma ibu kursuskan kamu, privat lagi, sudah bayarnya mahal, masak tes gitu aja ya kamu tidak lulus. Temanmu yang biasa-biasa saja diterima, masak kamu ini tidak diterima? Dasar bodoh!"
     Peristiwa seperti ini selalu terjadi setiap tahun ajaran baru di hampir seluruh wilayah Indonesia. Tanpa disadari, si ibu telah melakukan penghancuran mental dan pemasungan kecerdasan pada anaknya dengan celaan "bodoh" hanya karena gagal dalam tes masuk sekolah favorit atau sekolah unggul. Pertanyaan yang penting untuk kita pikirkan adalah:
1. Benarkah sekolah unggul itu adalah sekolah yang memiliki dan menyeleksi dengan ketat kualitas akademis  calon siswanya?
2. Benarkah sekolah unggul adalah sekolah yang memperhatikan kualitas input siswanya?
3. Bagaimana standar, kualitas, dan fungsi alat tes yang diujikan kepada calon siswa untuk masuk ke sekolah unggul tersebut?
4. Lalu, bagaiman semestinya sekolah itu menerapkan pola penerimaan siswa barunya?

     Konsep Multiple Intelegences (MI) yang menitikberatkan pada ranah keunikan selalu menemukan kelebihan setiap anak. Lebih jauh, konsep ini percaya bahwa tidak ada anak yang bodoh sebab setiap anak pasti memiliki minimal satu kelebihan. Apabila kelebihan tersebut dapat dideteksi sedari awal, otomatis kelebihan itu adalah potensi kepandaian sang anak.
     Atas dasar itu, seyogianya sekolah menerima siswa barunya dalam kondisi apapun. tugas sekolahlah meneliti kondisi siswa secara psikologis dengan cara mengetahui kecenderungan kecerdasan siswa melalui metode riset yang dinamakan Multiple Intelegences Research (MIR).
     Oleh karena itu,  pola penerimaan siswa baru bagi sekolah yang menerapkan Multiple Intelegences (MI) tidak menerapkan tes-tes formal untuk menyaring siswa. Jumlah siswa yang mendaftar sesuai dengan kapasitas siswa yang akan diterima. apabila sebuah sekolah berkapasitas 100 siswa dalam penerimaan siswa barunya, ketika jumlah pendaftar telah mencapai 100 siswa, pendaftaran pun ditutup.
      Berbeda sekali dengan pola umum sekolah di Indonesia yang membuka pendaftaran sebanyak-banyaknya, kemudian mengadakan tes seleksi. Dari 350 pendaftar, yang diterima hanya 100 siswa. Siapakan 100 siswa tersebut? Pastinya mereka adalah siswa yang menduduki peringkat 1 sampai 100 dari 350 calon siswa atau mungkin yang mampu menyumbang dana dalam jumlah besar kepada sekolah.
     Lalu, bagaimana nasib 250 siswa yang tidak lolos? Stigma sebagai anak gagal masuk sekolah favorit akan terus melekat seumur hidup dan membayang dalam pikiran selamanya.
     Pada dasarnya, sekolah unggul adalah sekolah yang fokus pada kualitas proses pembelajaran, bukan pada kualitas input siswanya. Kualitas proses pembelajaran bergantung pada kualitas para guru yang bekerja di sekolah tersebut. Apabila kualitas guru di sekolah tersebut baik, mereka akan berperan sebagai "agen pengubah" siswanya.
     Sekolah unggul adalah sekolah yang para gurunya mampu menjamin semua siswa akan terbimbing ke arah perubahan yang lebih baik, bagaimanapun kualitas akademis dan moral yang mereka miliki. Dengan kata lain, sekolah yang guru-gurunya mampu mengubah kualitas akademis dan moral siswanya dari negatif (baca: bodoh dan nakal) menjadi positif, itulah sekolah unggul. Resiko bagi pengurus sekolah yang berani mengklaim sekolahnya adalah sekolah unggul: mereka harus dengan senang hati menerima semua siswa apa adanya, tanpa pandang bulu, dan tanpa memilih siswa dengan tes seleksi. Ini karena, prinsip sekolah tersebut: tidak ada siswa yang bodoh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar